15 Maret 2009

Mengapa Mega Tak Mau Bicara dengan SBY..?


Senin, 16/03/2009 08:41 WIB

Jakarta - Presiden SBY kembali menegaskan kesediaannya mencairkan hubungan dengan Megawati yang telah membeku sejak 2004.

"Andaikata, andaikata, Ibu Mega bilang besok saya mau bertemu dengan SBY, maka saya pun besok juga akan mau bertemu dengan beliau. Banyak hal yang perlu diklarifikasi antara saya dan beliau," ujar SBY dalam acara silaturahmi dengan wartawan di kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/3/2009).

PDIP, partai yang dipimpin Mega, sendiri masih enggan melayani SBY. "Kan tidak ada masalah yang mendesak yang mengharuskan kedua beliau untuk ketemu," ujar Ketua PDIP Tjahjo Kumolo.

Bagaimana sebenarnya konflik ini bermula? Untuk kilas balik, ada baiknya kita buka buku laris karya Prof Dr Tjipta Lesmana MA berjudul Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa.

Di halaman 303, Prof Tjipta menulis, jauh sebelum Pilpres 2004, Presiden Megawati diam-diam melakukan semacam investigasi tentang keinginan dan kesiapan sejumlah pembantunya untuk terjun dalam pesta demokrasi itu. Ketika itu sejumlah menteri sudah santer disebut-sebut bakal mencalonkan diri. Mereka antara lain SBY, Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz dan Jusuf Kalla. Investigasi ini juga tampaknya juga dilakukan Mega untuk mencari pasangan cawapres.

Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang ditanya Megawati mengaku menjawab apa adanya bahwa dia siap dicapreskan oleh PBB. Apakah dirinya akan berpasangan dengan SBY, Yusril menjawab tidak.

Berbeda dengan Yusril, SBY selalu mengelak menjawab secara eksplisit setiap kali ditanya oleh wartawan. Dengan diplomatis, SBY selalu menjawab bahwa ia masih berkonsentrasi pada pelaksaan tugasnya sebagai Menko Polkam.

Memasuki tahun 2004 wajah SBY sering tampil di layar televisi, terkait program sosialisasi pemilu 2004. Oleh sebagian kalangan, tayangan itu dinilai kampanye terselubung SBY. Program ini kemudian distop KPU karena banyak protes.

Megawati dan kubunya rupanya menaruh curiga pada manuver SBY. "Sumber penulis menuturkan bahwa yang membuat Megawati kesal, bercampur galau, adalah sikap SBY yang dinilai tidak jantan, yakni tidak mau jujur ketika ditanya presiden apakah ia hendak mencalonkan diri. Kalau saja SBY mengambil sikap seperti Yusril, persoalan mungkin menjadi lain: sejak awal Megawati pasti akan meminta SBY meninggalkan kabinet; sama halnya dnegan Yusril. Namun SBY selalu menunjukkan sikap yang ambivalen, Megawati pun menggunakan taktik lain. Secara sistematis dan diam-diam dia mengucilkan SBY dari kabinet," tulis Prof Tjipta di halaman 305.

Pengucilan itu dilakukan dengan tidak melibatkan SBY dalam sidang kabinet terkait bidang tugasnya. Ketika isu SBY dipinggirkan ini mencuat, Mega sudah mencium aroma politik SBY. Muncul pula pernyataan Taufiq Kiemas yang emosional, mengecam sikap SBY yang dinilai "seperti anak kecil". "Dia menjadi Menko Polkam kan diangkat Presiden. Karena itu mestinya dia lapor ke Presiden bahwa dia mau mencalonkan diri sebagai capres," komentarnya.

Konflik SBY-Mega berakhir ketika pada 12 Maret 2004, SBY mundur sebagai Menko POlkam. Sehari setelah mundur, SBY langsung berkampanye untuk Partai Demokrat di Banyuwangi, Jawa Timur. Tentunya, kampanye ini tak mungkin dilakukan mendadak alias telah disusun jauh hari, saat dia masih menjabat sebagai pembantu Megawati.

"SBY dianggap pengkhianat. Menikam dia (Mega-red) dari belakang! Enggak gentle," ucap Roy Janis (halaman 289). Roy adalah tangan kanan Mega yang kini berseberangan dengan Mega dan mendirikan PDP.

"SBY dianggap menelikung dia. Mengkhianati dia," kata Laksamana Sukardi, orang kepercayaan Mega yang kini satu gerbong dengan Roy.

Menurut Roy, kegusaran dan kebencian Mega terhadap SBY bahkan diartikulasikan dalam rapat DPP PDIP. "Kalau orang lain, Amien Rais presiden, Wiranto presiden, siapalah, saya datang. Tapi, kalau ini (SBY), saya enggak bisa, karena dia menikam saya dari belakang!" begitu kata Mega di rapat pimpinan DPP PDIP sebagaimana ditirukan Roy.

Alhasil, saat SBY membacakan sumpah presiden pada 20 Oktober 2004, Mega memilih berkebun dan membaca buku di kediamannya di Kebagusan, Jaksel, tak memenuhi undangan pengambilan sumpah. ( nrl / irw )Nurul Hidayati

Tidak ada komentar: